Menjadi Masyarakat Literat di Tengah Laju Digitalisasi

Oleh Muhammad Zakaria Rahman *)

Literasi

SEMARANG – Beberapa waktu lalu media sosial dihebohkan dengan sebuah video yang memperlihatkan seorang pria memanjat patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali. Dalam video itu terdapat beberapa orang yang meneriaki pria tersebut untuk turun.

Spekulasi muncul dari netizen bahwa diduga pria itu akan melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari patung setinggi 121 meter tersebut. Padahal kenyataannya, pria tersebut sedang menjalankan tugasnya dalam memeriksan kondisi patung GWK yang dideteksi mengalami kebocoran.

Hal itu diungkap oleh Nyoman Nuarta selaku pencipta patung GWK lewat Instagram pribadinya pada (24/10/2021). Klarifikasi dari Nyoman Nuarta tersebut lantas mematahkan spekulasi netizen yang menganggap pria itu ingin bunuh diri.

Kejadian tersebut merupakan satu diantara banyak kasus kesalahpahaman netizen terhadap hal-hal yang sedang viral diperbincangkan di media sosial. Tak jarang kesalahpahaman tersebut berakibat pada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan lainnya.

Banyak masyarakat Indonesia yang terlalu cepat mengambil keputusan dalam memaknai suatu hal tanpa mempertimbangkan sumber informasi tersebut. Masyarakat juga lebih percaya terhadap apa yang diyakininya daripada kenyataan.

Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah karena rendahnya literasi masyarakat Indonesia terutama literasi digital. Berbagai hasil survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional hampir selalu menunjukkan kualitas budaya literasi di Indonesia masih kurang.

Sebagai contoh dalam laman Kemendagri (23/3/2021), survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 62 dari 70 negara yang berkaitan dengan tingkat literasi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Survei lain yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2019 dalam laman Kemdikbud (17/5/2019), yang menyusun Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) di seluruh provinsi di Indonesia. Indeks tersebut menunjukkan bahwa terdapat 9 provinsi yang memiliki kategori sedang, 24 provinsi berkategori rendah, dan 1 provinsi berkategori sangat rendah. Sedangkan rata-rata indeks secara nasional yaitu sebesar 37,22% yang menunjukkan bahwa indeks literasi Indonesia masih tergolong rendah.

Baca juga:   Keren! 12 Strategi Ampuh Kembangkan Literasi Majemuk di Desa

Konsekuensi rendahnya tingkat literasi

Dilansir dari Republika, Direktur Agama Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Amich Alhumami, menyebutkan bahwa konsekuensi tingkat literasi yang rendah akan memunculkan dampak negatif seperti biaya pendidikan dan biaya kesehatan menjadi lebih mahal.

Selain itu, konsekuensi lain juga akan berpengaruh terhadap pekerjaan yang tidak produktif dan juga tidak mendapat pendataan yang baik pula. Bagaimana tidak, tingkat literasi suatu negara pastinya akan banyak berpengaruh terhadap keberlangsungan kehidupan suatu negara.

Walaupun fasilitas-fasilitas dalam menunjang budaya literasi sudah lengkap, namun jika tidak diikuti dengan upaya menggerakkan masyarakat dalam penerapan budaya literasi hasilnya akan tetap sama saja. Tidak akan ada peningkatan literasi jika masyarakatnya sendiri tidak berupaya untuk untuk mengejar ketertinggalan tersebut.

Hal itu menjadi permasalahan yang serius ketika interpretasi masyarakat dalam melihat indeks tingkat literasi Indonesia yang rendah dijadikan sebagai asumsi yang mengakar sehingga masyarakat akan tersugesti untuk menganggap hal yang demikian menjadi lumrah.

Salah satu stigma yang muncul di masyarakat ketika menginterpretasikan rendahnya tingkat literasi tersebut yaitu orang Indonesia merupakan orang yang malas membaca. Padahal, hakikat literasi tidak sepenuhnya ada pada kemampuan membaca seseorang. Dengan begitu, dalam memecahkan masalah terkait dengan budaya literasi ini diperlukan inisiasi dari berbagai komponen demi meningkatkan budaya literasi di Indonesia.

Inisiasi peningkatan budaya literasi

Salah satu cara agar budaya literasi meningkat yaitu dengan melakukan pembiasaan sejak dini melalui keluarga. Keluarga merupakan komponen yang paling dekat dan menjadi pondasi paling awal dalam membentuk anak yang menerapkan budaya literasi.

Baca juga:   Rendahnya Literasi dan Minat Baca Siswa Selama Pembelajaran Jarak Jauh

Orang tua dapat memasukkan nilai-nilai literasi pada anak dengan memfasilitasi buku bacaan padanya, kemudian membudayakan kegiatan membaca dan menceritakan nilai dan amanat dalam buku tersebut. Orang tua saat ini sebaiknya mulai mengurangi kebiasaan bermain smartphone hanya demi kesenangan pribadi.

Justru harusnya dengan smartphone, orang tua dapat membudayakan literasi anak melalui media digital yang ada. Pembiasaan lain yang dapat dilakukan yaitu melalui sekolah. Guru bersama murid harus mulai aktif membiasakan kegiatan membaca di sekolah dengan menerapkan Program Gerakan Literasi Sekolah yang dicanangkan pemerintah.

Peran serta pemerintah dalam hal ini juga sangat dibutuhkan. Dikutip dari Kompas, pemerintah sedang menyusun peta jalan (roadmap) peningkatan budaya literasi di Indonesia dengan melibatkan kementerian/lembaga, akademisi, dan stakeholder terkait.

Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Nyoman Shuida menyatakan bahwa peta jalan tersebut nantinya akan dijadikan sebagai dokumen pedoman dalam menjalankan program budaya literasi di masing-masing kementerian/lembaga pemerintah dan nonpemerintah.

Selain itu, peningkatan budaya literasi juga masuk ke dalam salah satu sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Hal itu menjadikan program-program budaya literasi memiliki alur yang jelas sehingga pelaksanaan program budaya literasi menjadi semakin maksimal.

Dengan berbagai inisiasi dari setiap komponen baik dari orang tua, guru, sampai pemerintah haruslah berkolaborasi satu sama lain dalam upaya meningkatkan budaya literasi, sehingga dari inisiasi tersebut dapat menjadikan masyarakat saat ini menjadi masyarakat yang literat di tengah laju digitalisasi saat ini.

*) Muhammad Zakaria Rahman, Mahasiswa Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (UNNES)

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar Anda!
Masukkan nama Anda disini