Rasisme yang Terjadi di Indonesia dan Hukuman bagi Pelakunya

ilustrasi-rasisme
. (foto: AFP/Angela Weiss)

JAKARTA – Rasisme merupakan suatu perilaku yang membedakan antar ras dan menganggap ras tertentu lebih superior dari ras lainnya. Selain itu, rasisme juga dapat berupa perilaku diskriminasi terhadap warna kulit, suku, dan asal usul seseorang.

Perilaku ini terjadi di seluruh belahan dunia, seperti di Amerika Serikat, Korea Selatan, dan negara-negara lainnya. Hal ini kemudian menimbulkan gerakan-gerakan anti-rasisme, seperti Black Lives Matter (BLM) yang terjadi pada tahun 2020 lalu.

Menurut Lilian Green, rasisme memiliki empat dimensi, yaitu:

a. Rasisme internal: Rasisme yang berdasarkan kepada pikiran, perasaan dan tindakan setiap individu, baik secara sadar maupun tidak sadar, seperti percaya akan cap negatif ras tertentu.

b. Rasisme interpersonal: Rasisme terhadap seseorang yang dapat memengaruhi interaksi publik orang tersebut, seperti melakukan pelecehan dan diskriminasi.

c. Rasisme institusional: Rasisme yang berada dalam institusi dan sistem politik, ekonomi, atau hukum yang melakukan diskriminasi ras. Hal tersebut menyebabkan ketidaksetaraan pendapatan, pendidikan, dan hak-hak lainnya. Contohnya seperti mementingkan pendapat dari kelompok ras yang dominan.

d. Rasisme sistemik: Rasisme yang tertanam dalam kehidupan masyarakat. Perilaku ini melibatkan institusi yang bergerak di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

Baca juga:   Moeldoko: Tak Ada Tempat Bagi Pelaku Rasis di Indonesia

Rasisme di Indonesia

Rasisme di Indonesia sudah terjadi sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, pemerintah Kolonial Belanda membagi-bagi golongan berdasarkan rasnya, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Pribumi.

Setelah merdeka, perlakuan rasisme tidak serta merta menghilang. Perlakuan ini masih dirasakan oleh beberapa golongan di Indonesia, salah satunya yaitu masyarakat Papua. Seperti pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang terjadi pada tahun 2019 dan rasisme serta diskriminasi yang dialami oleh Olvah Alhamid (model asal Papua).

Perlakuan ini juga dirasakan oleh warga yang memiliki keturunan Tionghoa. Pada masa orde baru, masyarakat keturunan Tionghoa wajib memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) agar dapat mengurus KTP dan urusan administratif lainnya.

Selain masyarakat Papua dan keturunan Tionghoa, terdapat juga golongan-golongan lain yang mengalami rasisme dan diskriminasi karena ras, warna kulit, suku, dan asal usulnya, padahal seharusnya seorang manusia harus menghormati manusia lainnya seperti yang tercantum dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999.

Hukuman bagi pelaku rasisme di Indonesia

Pemerintah melindungi para korban rasisme dengan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Menurut pasal 15-17, para pelaku rasisme akan dikenakan sanksi pidana penjara dan/atau denda yang dibedakan menurut jenis kejahatannya.

Baca juga:   JoMan Sebut Ambroncius Tak Dikenal di Kalangan Nasional Aktivis Pro-Jokowi

– Pasal 15: Pelaku yang melakukan pembedaan/pembatasan yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, pelaksanaan hak asasi manusia, dan kebebasan dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya akan dipenjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000.

– Pasal 16: Pelaku yang menunjukkan kebencian berdasarkan diskriminasi ras dan etnis akan dipenjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000.

– Pasal 17: Pelaku yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis akan dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ditambah dengan 1/3 dari masing-masing ancaman pidana maksimumnya.

Perilaku rasisme harus dihilangkan, karena selain dapat menimbulkan trauma dalam diri korban, rasisme juga dapat mengakibatkan adanya kesenjangan di bidang pendidikan dan bidang-bidang lainnya yang dapat mempersulit bahkan menghambat korban dalam menjalankan kehidupannya.

Nadhila Tsabita Fathurrahman
Mahasiswa Universitas Sebelas Maret

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar Anda!
Masukkan nama Anda disini