JAKARTA – Apa yang terlintas dipikiran ketika mendengar tentang kesetaraan gender? Sebagian besar dari masyarakat hanya peduli akan kesetaraan gender terhadap perempuan.
Memang tidak bisa dipungkiri banyak sekali kasus ketidaksetaraan gender yang terjadi kepada perempuan, lalu bagaimana dengan laki-laki? Apakah menjadi laki-laki sudah dihadapkan dengan sistem hidup yang sudah adil? Ketidaksetaraan gender yang terjadi kepada laki-laki dalam kehidupan masyarakat umumnya didasari oleh stereotipe.
Laki-laki seringkali dihadapkan untuk selalu memenuhi standar maskulinitas yang ketat, seperti harus kuat, tidak emosional, dan dominan. Dalam hal pekerjaan laki-laki sering kali didorong untuk mengejar karir di bidang yang dianggap maksulin seperti teknik, militer atau bisnis.
Sedangkan pekerjaan yang dianggap feminim mungkin kurang sesuai untuk laki-laki. Apakah hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai kesetaraan gender?
Kesetaraan gender adalah konsep yang bermakna bahwa setiap inidvidu, tanpa memandang jenis kelamin atau identitas gender mereka, memiliki hak yang sama untuk mengakses kesempatan, sumber daya, perlakuan yang adil, dan partisipasi dalam kehidupan sosial.
Kesetaraan gender menjadi hal penting bagi setiap manusia untuk mendapatkan hak dan kewajibannya secara adil. Namun, masih banyak masyarakat yang belum peduli akan kesetaraan gender atas dirinya maupun orang lain.
Teori sosial kritis membantu dalam mengkritisi dan merubah struktur kekuasaan dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat yang melibatkan analisis terhadap ideologi, budaya, ekonomi, dan politik yang membentuk kehidupan sosial.
Salah satu tokoh yang membahas tentang ketidaksetaraan gender pada laki-laki adalah R.W Connel (Raewyn Connel) adalah seorang sosiolog Australia dan Profesor Emerita di Universitas Sydney. Dia dikenal sebagai pendiri bidang studi maskulinitas dan pencetus konsep hegemoni maskulinitas.
Hegemoni maskulinitas adalah konstruksi sosial dari maskulinitas yang berusaha mempertahankan dominasi dan kekuasaan laki-laki dalam masyarakat.
Hal ini tentu berdampak terhadap laki-laki untuk selalu memenuhi standar maskulinitas hegemonik yang seringkali mengalami tekanan sosial, stigma, dan diskriminasi. Dengan mengkritisi dominasi maskulinitas melalui teori sosial kritis, akan tercipta masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua gender.
Teori sosial kritis berperan penting dalam memahami dan mengkritisi ketidaksetaraan gender terhadap laki-laki dalam realitas sosial, antara dengan menganalisis konstruksi gender. Teori sosial kritis membantu untuk mengidentifikasi dan mengkritisi norma-norma maskulinitas yang dominan dalam masyarakat.
Kritis maskulinitas ini dapat diidentifikasi melalui film, iklan, musik dan media massa lainnya dalam cultural studies atau budaya populer. Budaya populer yang dikonsepkan oleh Theodor Ardono menyoroti bagaimana industri budaya cenderung menghasilkan konten yang mempromosikan stereotip gender, termasuk konstruksi maskulinitas yang dominan.
Peran penting teori sosial kritis dalam ketidaksetaraan gender terhadap laki-laki adalah sebagai pembebasan dari stereotipe dan peran gender. Teori sosial kitis menawarkan alat untuk membebaskan individu balik laki-laki maupun perempuan.
Hal ini melibatkan pemahaman bahwa laki-laki tidak harus selalu menjadi dominan, serta dapat memberikan ruang bagi variasi dalam identitas dan ekspresi gender.
Lebih dari sekedar analisis, teori sosial kritis mendorong adanya advokasi untuk perubahan sosial sesuai dengan tujuan awal hubungan ketidaksetaraan gender pada laki-laki melalui teori sosial kritis adalah untuk pencapaian keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Advokasi yang bisa dilakukan adalah dengan menuntut kebijakan publik yang lebih inklusif, mendukung gerakan sosial yang mempeerjuangkan keadilan gender, dan memberikan kesadaran publik akan isu ketidaksetaraan gender terhadap laki-laki.
Adilla Zahra Putri
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA