Menyelaraskan Gender: Islam dan Gerakan Feminisme Modern pada Teori Sosial Kritis

harianpijar

JAKARTA – Feminisme modern dimulai pada abad ke-19 dengan gelombang pertama yang berfokus pada hak-hak legal dasar seperti hak memilih. Gelombang kedua (1960-1980) mengangkat isu-isu seperti kesetaraan di tempat kerja, hak reproduksi, dan kekerasan berbasis gender. Gelombang ketiga (1990-an dan seterusnya) lebih beragam dalam pendekatan, dengan fokus pada interseksionalitas dan inklusivitas.

Sejak masa Nabi Muhammad SAW, Islam telah memberikan perhatian pada hak-hak perempuan. Contohnya, Al-Qur’an dan Hadist menyebutkan hak perempuan dalam pendidikan, kepemilikan harta, dan partisipasi dalam kehidupan sosial. Namun, interpretasi dan penerapan ajaran ini bervariasi secara kultural dan historis.

Dalam Islam, perempuan berhak mendapatkan pendidikan dan bekerja. Namun, ada tantangan dalam menerapkan prinsip ini di beberapa negara dengan interpretasi yang lebih konservatif. Termasuk hak untuk menikah, bercerai, dan mewarisi harta.

Beberapa interpretasi Islam memberi hak-hak ini kepada perempuan, tetapi praktiknya dapat berbeda-beda. Peran Gender dan Identitas tentang peran tradisional versus peran modern perempuan dalam masyarakat Islam, serta bagaimana ini diintegrasikan dengan tuntutan feminisme modern untuk kesetaraan gender dan kebebasan identitas gender.

Feminisme Islam merupakan gerakan yang bertujuan untuk menginterpretasikan teks-teks agama dengan cara yang mendukung kesetaraan gender. Feminisme Islam sering kali menggabungkan prinsip-prinsip feminisme dengan ajaran-ajaran Islam, menekankan bahwa Islam pada dasarnya mendukung hak-hak perempuan.

Pendekatan tradisional lebih mempertahankan nilai-nilai dan peran gender yang telah lama ada dalam budaya Islam, sementara pendekatan modernis mencari cara untuk memperbarui interpretasi ini agar lebih sesuai dengan nilai-nilai kesetaraan feminis modern.

Salah satu tantangan terbesar adalah interpretasi berbagai teks agama. Ada perbedaan besar antara interpretasi konservatif dan progresif. Banyak norma kultural yang berpengaruh besar terhadap bagaimana ajaran Islam diterapkan dalam konteks gender, yang sering kali lebih membatasi peran perempuan.

Peran negara dan hukum dalam menentukan hak-hak perempuan di negara-negara mayoritas Muslim juga memainkan peran penting. Beberapa negara menerapkan hukum yang lebih ketat.

Dalam beberapa dekade terakhir, gerakan feminisme modern telah mengalami perkembangan signifikan di seluruh dunia, termasuk di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Di sisi lain, ajaran Islam, yang sudah berabad-abad lamanya, juga memiliki perspektif tersendiri mengenai peran dan hak-hak perempuan.

Baca juga:   Representasi Budaya Patriarki dalam Film Kartini (2017) Karya Hanung Bramantyo: Analisis Teori Feminisme

Menyelaraskan kedua pandangan ini melalui lensa teori sosial kritis membuka ruang diskusi yang kaya dan kompleks mengenai keadilan gender, emansipasi perempuan, dan bagaimana nilai-nilai tradisional dan modern dapat berdampingan.

Islam, sebagai agama yang komprehensif, memiliki ajaran-ajaran yang spesifik mengenai peran dan hak-hak gender. Secara umum, Islam mengakui persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Beberapa ayat Al-Qur’an menegaskan pentingnya keadilan dan penghormatan terhadap perempuan. Misalnya, Surah An-Nisa ayat 1 mengingatkan umat manusia akan penciptaan mereka dari satu jiwa, menekankan kesetaraan esensial antara laki-laki dan perempuan. Namun, dalam praktiknya, interpretasi dan penerapan ajaran Islam mengenai gender sering kali dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya setempat.

Feminisme modern adalah gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di berbagai aspek kehidupan. Gelombang feminisme pertama fokus pada hak-hak dasar seperti hak suara dan kepemilikan.

Gelombang kedua memperluas perjuangan ke ranah hak reproduksi, pekerjaan, dan keluarga. Gelombang ketiga dan keempat menyoroti keragaman pengalaman perempuan dan interseksionalitas, yaitu bagaimana identitas seperti ras, kelas, dan orientasi seksual berinteraksi dengan gender.

Melalui dialog yang inklusif antara komunitas Muslim dan gerakan feminis, kesalahpahaman dan stereotip dapat diatasi. Ini juga memungkinkan pertukaran ide-ide dan praktik-praktik yang dapat memperkaya kedua belah pihak dalam mencapai tujuan bersama.

Dalam banyak masyarakat Muslim, hegemoni patriarki dapat mengaburkan interpretasi ajaran Islam yang sebenarnya mendukung keadilan gender. Dominasi ideologi ini mengakibatkan perempuan sering kali ditempatkan pada posisi subordinat.

Aktivis feminis Muslim berusaha untuk menantang hegemoni ini dengan menafsirkan kembali teks-teks agama untuk menyoroti ajaran-ajaran yang mendukung kesetaraan gender. Mereka berargumen bahwa nilai-nilai universal Islam, seperti keadilan dan penghormatan terhadap semua manusia, seharusnya menjadi dasar dalam menilai peran dan hak perempuan.

Baca juga:   Susi Susanti: Love All (2019), Perjuangan Gender dalam Dunia Olahraga

Diskursus yang dominan tentang peran gender dalam Islam sering kali dikuasai oleh interpretasi patriarkal, yang memperkuat posisi subordinat perempuan. Aktivis feminis Muslim bekerja untuk mendekonstruksi diskursus ini dan mempromosikan pemahaman yang lebih inklusif dan egaliter tentang gender dalam Islam.

Perempuan Muslim tidak hanya menghadapi diskriminasi gender, tetapi juga bisa mengalami marginalisasi berdasarkan faktor-faktor lain seperti kelas sosial, etnisitas, atau orientasi seksual. Feminisme modern di negara-negara Muslim sering kali harus menangani kompleksitas ini dengan cara yang sensitif dan kontekstual.

Aktivis feminis Muslim sering kali menggabungkan perspektif interseksional dalam upaya mereka untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih adil dan inklusif. Gerakan feminisme Muslim bertujuan untuk emansipasi perempuan dengan mengadvokasi perubahan dalam hukum dan kebijakan, serta menantang norma-norma budaya yang diskriminatif.

Mereka menggunakan berbagai strategi, termasuk pendidikan, advokasi hukum, dan kampanye kesadaran publik untuk menciptakan masyarakat yang lebih setara. Teori sosial kritis mendukung pendekatan ini dengan menyediakan kerangka kerja untuk memahami dan mengkritisi struktur-struktur ketidakadilan yang ada.

Dalam konteks Islam dan feminisme, kritik ideologi dapat digunakan untuk mengekspos bagaimana interpretasi agama yang patriarkal dapat berfungsi sebagai alat penindasan. Aktivis dan sarjana feminis Muslim sering kali terlibat dalam kritik ideologi untuk menunjukkan bahwa banyak norma-norma gender yang diterima luas sebenarnya tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam, tetapi lebih merupakan hasil dari konteks historis dan budaya tertentu.

Dengan melakukan kritik ini, mereka berusaha untuk mengembalikan fokus pada prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang ada dalam ajaran Islam. Upaya menyelaraskan Islam dengan gerakan feminisme modern melalui lensa teori sosial kritis tidak hanya membantu mengungkap sumber-sumber ketidakadilan tetapi juga menawarkan jalan untuk transformasi sosial yang lebih luas dan inklusif.

Jessy Arifiyani Nurbasya
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar Anda!
Masukkan nama Anda disini