Representasi Budaya Patriarki dalam Film Kartini (2017) Karya Hanung Bramantyo: Analisis Teori Feminisme

harianpijar

JAKARTA – Film Kartini (2017) yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo menjadi sebuah karya yang menggambarkan perjuangan dan tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam menghadapi budaya patriarki di Indonesia pada awal abad ke-20.

Dengan menggunakan pendekatan teori Feminisme, film ini menggambarkan kompleksitas dari struktur kekuasaan patriarki dan perlawanan Kartini terhadapnya.

Konsep patriarki dapat dipahami sebagai sistem sosial dan budaya di mana kekuasaan dan dominasi dipegang oleh laki-laki, sementara perempuan sering kali berada dalam posisi subordinasi.

Dalam konteks ini, film Kartini menggambarkan bagaimana Kartini sebagai seorang tokoh sejarah Indonesia yang dikenal karena perjuangannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, harus berhadapan dengan norma-norma patriarki yang mengatur kehidupan sosial dan keluarganya.

Teori Feminisme dalam konteks ini, memberikan kerangka analisis yang kuat untuk mengkritisi dan memahami dinamika kekuasaan gender yang ditampilkan dalam film ini.

Film ini menggambarkan Kartini sebagai seorang perempuan yang memiliki semangat untuk mengubah nasib perempuan di masa itu melalui pendidikan dan kesetaraan gender. Namun, Kartini juga harus berhadapan dengan tekanan dari keluarga dan masyarakat yang konservatif, yang menuntutnya untuk mematuhi norma-norma yang ada dan menolak perubahan.

Ini mencerminkan konflik yang sering dialami oleh perempuan yang berusaha mengubah status quo patriarki, di mana perjuangan untuk meraih kemerdekaan sering kali bertentangan dengan ekspektasi sosial yang ada.

Baca juga:   Media dan Kekuasaan: Pendekatan Kritis terhadap Propaganda di Era Digital

Selain itu, film ini juga menggambarkan bagaimana Kartini berusaha melawan ketidakadilan yang dialaminya sebagai perempuan. Dalam teori Feminisme, ini dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni patriarki, di mana Kartini tidak hanya menantang struktur kekuasaan yang ada, tetapi juga berusaha untuk menciptakan ruang bagi perempuan lain untuk mengeksplorasi potensi mereka di luar batasan-batasan yang diberlakukan oleh masyarakat dengan budaya patriarki.

Secara visual dan naratif, Kartini juga menggunakan berbagai simbol dan metafora untuk menggambarkan budaya patriarki. Misalnya, penggambaran ruang dalam film sering kali mengindikasikan batasan-batasan fisik dan sosial yang dihadapi oleh Kartini dan perempuan lainnya.

Penempatan Kartini di tengah-tengah keluarga yang konservatif, yang memandangnya sebagai penghuni rumah tangga yang harus patuh dan tunduk, menjadi cerminan dari dinamika patriarkal yang membatasi perempuan dalam ruang-ruang tertentu.

Namun demikian, Kartini juga tidak menggambarkan perlawanan sebagai proses yang mudah atau tanpa konsekuensi. Kartini sendiri harus menghadapi konflik internal dan eksternal dalam upayanya untuk mengejar mimpi kesetaraan gender dan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap budaya patriarki sering kali memerlukan pengorbanan yang besar, baik secara pribadi maupun sosial.

Dalam konteks ini, teori feminisme memberikan pandangan kritis terhadap representasi budaya patriarki dalam film Kartini (2017). Teori ini menyoroti bagaimana struktur kekuasaan gender tidak hanya mempengaruhi kehidupan perempuan secara individual, tetapi juga membentuk narasi dan penggambaran mereka dalam budaya populer seperti film.

Baca juga:   Kesetaraan Gender terhadap Laki-Laki dalam Realitas Sosial Melalui Teori Sosial Kritis

Dengan menganalisis film ini melalui lensa feminis, kita dapat melihat bagaimana narasi tentang perempuan dan perjuangan mereka untuk kesetaraan sering kali terbentuk dan dipengaruhi oleh ideologi-ideologi patriarkal yang mendalam.

Film ini juga menyoroti pentingnya pendidikan dalam pemberdayaan perempuan. Kartini dikenal karena memperjuangkan akses pendidikan yang lebih baik bagi perempuan, yang dipandang sebagai langkah krusial dalam membebaskan mereka dari belenggu patriarki.

Ini mencerminkan pandangan feminis yang mengutamakan pendidikan sebagai sarana untuk membangun kesadaran dan memperluas ruang bagi perempuan untuk berkontribusi secara signifikan dalam masyarakat.

Secara keseluruhan, Kartini (2017) karya Hanung Bramantyo bukan hanya sekedar sebuah narasi biografi, tetapi juga sebuah kritik terhadap budaya patriarki yang masih relevan hingga saat ini.

Dengan menggunakan Teori Feminisme sebagai kerangka analisis, film ini mengajak penonton untuk mempertanyakan dan merenungkan tentang bagaimana kekuasaan gender terstruktur dalam masyarakat dan bagaimana perempuan seperti Kartini berjuang untuk meruntuhkan batasan-batasan tersebut.

Melalui penggambaran yang kompleks dan penuh makna, film Kartini mengilustrasikan bahwa perjuangan untuk kesetaraan gender bukanlah sekadar perjuangan fisik, tetapi juga perjuangan untuk meraih kebebasan dan martabat dalam wajah budaya patriarki yang kuat.

Indah Intani H Wabula (2106015034)
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar Anda!
Masukkan nama Anda disini