JAKARTA – Black Lives Matter (BLM) telah muncul sebagai salah satu gerakan sosial paling berpengaruh di era modern. Dipandang melalui perspektif teori sosial kritis, BLM menawarkan contoh nyata bagaimana teori dapat diterjemahkan menjadi aksi nyata untuk perubahan sosial.
Pertama, BLM secara langsung menantang struktur kekuasaan yang ada. Gerakan ini mengekspos dan mengkritisi rasisme sistemik yang tertanam dalam institusi-institusi Amerika, terutama dalam penegakan hukum dan sistem peradilan pidana.
Dengan melakukan ini, BLM mewujudkan prinsip dasar teori sosial kritis yang menekankan pentingnya mengidentifikasi dan menantang hubungan kekuasaan yang tidak adil dalam masyarakat.
Lebih dari sekadar kritik, BLM berupaya untuk emansipasi. Tujuan utamanya adalah membebaskan masyarakat kulit hitam dari diskriminasi dan kekerasan rasial yang telah lama mengakar. Ini sejalan dengan fokus teori sosial kritis pada pembebasan kelompok-kelompok yang tertindas.
BLM juga menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang interseksionalitas. Gerakan ini mengakui bahwa pengalaman orang kulit hitam tidak hanya dibentuk oleh ras, tetapi juga oleh faktor-faktor seperti gender, kelas sosial, dan orientasi seksual. Pendekatan ini mencerminkan perkembangan terkini dalam teori sosial kritis yang menekankan kompleksitas identitas sosial.
Dalam upayanya untuk mencapai transformasi sosial, BLM tidak hanya berfokus pada perubahan sikap individual, tetapi juga berusaha mengubah struktur sosial yang lebih luas. Ini termasuk mendorong reformasi kebijakan dan perubahan institusional, yang sejalan dengan pandangan teori kritis bahwa perubahan sistemik diperlukan untuk mencapai keadilan sosial yang sejati.
Gerakan ini juga berperan penting dalam meningkatkan kesadaran kritis masyarakat. Melalui protes, kampanye media sosial, dan pendidikan publik, BLM telah membantu membuka mata banyak orang terhadap realitas rasisme sistemik. Proses penyadaran ini adalah inti dari konsep “kesadaran kritis” dalam teori sosial kritis.
Black Lives Matter dari perspektif Marxis dimulai dengan konsep perjuangan kelas yang fundamental dalam pemikiran Marx. Dalam konteks ini, BLM dapat dipahami sebagai manifestasi kompleks dari perjuangan kelas, di mana komunitas kulit hitam, yang sebagian besar merupakan bagian dari kelas pekerja, melawan eksploitasi ganda: rasisme dan kapitalisme.
Gerakan ini juga dapat dilihat sebagai perlawanan terhadap aparatus negara, seperti kepolisian dan sistem peradilan, yang dalam pandangan Marxis berfungsi untuk melindungi kepentingan kelas penguasa.
Marx berpendapat bahwa basis ekonomi masyarakat menentukan suprastruktur, yang mencakup hukum, politik, dan budaya. Dalam konteks BLM, rasisme dapat dipandang sebagai produk dari sistem ekonomi yang membutuhkan tenaga kerja murah dan terbagi-bagi. Ketidaksetaraan rasial yang terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, perumahan, dan kesehatan, mencerminkan ketidaksetaraan ekonomi yang mendasarinya.
Konsep alienasi Marx juga relevan dalam memahami pengalaman komunitas kulit hitam. Alienasi ini termanifestasi dalam berbagai bentuk, termasuk alienasi dari produk kerja mereka melalui upah yang tidak adil, alienasi dari sesama pekerja melalui pemisahan rasial, dan alienasi dari potensi manusia mereka akibat diskriminasi sistemik. BLM, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai upaya untuk mengatasi alienasi ini dan memulihkan rasa kemanusiaan yang utuh.
Marx menekankan pentingnya kesadaran kelas dalam perjuangan revolusioner. Dalam konteks ini, BLM dapat dipahami sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang kondisi material komunitas kulit hitam dan membangun solidaritas di antara kelompok-kelompok tertindas. Gerakan ini berupaya untuk membuka mata masyarakat terhadap realitas ketidakadilan rasial dan ekonomi yang selama ini tersembunyi atau dinormalisasi.
Dari perspektif Marxis, rasisme tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme. Rasisme berfungsi untuk memecah belah kelas pekerja dan mencegah solidaritas antar-ras, sementara eksploitasi tenaga kerja kulit hitam telah menjadi bagian integral dari perkembangan kapitalisme di Amerika Serikat.
Oleh karena itu, perjuangan melawan rasisme, seperti yang dilakukan BLM, juga merupakan perjuangan melawan sistem kapitalis yang melanggengkan ketidaksetaraan.
Marx berpendapat bahwa perubahan fundamental hanya bisa dicapai melalui revolusi. Dalam konteks BLM, beberapa elemen yang lebih radikal dalam gerakan ini mungkin sejalan dengan pandangan ini, menuntut perubahan sistemik total. Namun, elemen yang lebih reformis dalam BLM mungkin dilihat oleh Marxis ortodoks sebagai tidak cukup transformatif.
Terakhir, Marx menekankan solidaritas internasional pekerja, dan BLM telah menunjukkan aspek ini dengan menginspirasi dan berkolaborasi dengan gerakan anti-rasisme di seluruh dunia. Gerakan ini telah mengaitkan perjuangannya dengan gerakan global melawan penindasan, mencerminkan semangat internasionalisme yang diadvokasi oleh Marx.
Dari perspektif Marxis, BLM dapat dilihat sebagai gerakan yang mencerminkan kontradiksi mendasar dalam masyarakat kapitalis. Gerakan ini menantang tidak hanya rasisme, tetapi juga struktur ekonomi yang melanggengkan ketidaksetaraan.
Namun, seorang Marxis ortodoks mungkin akan berpendapat bahwa untuk benar-benar efektif, BLM perlu lebih eksplisit dalam mengaitkan perjuangan anti-rasisme dengan perjuangan anti-kapitalisme dan lebih fokus pada mobilisasi kelas pekerja lintas ras.
Intan Karomah
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA