Earmarking Tax sebagai Strategi dalam Keseimbangan Lingkungan

Earmarking-Tax

MALANG – Selain aspek ekonomi, dampak pandemi Covid-19 juga memengaruhi perubahan gaya hidup manusia, termasuk meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan. Saat ini, isu lingkungan menjadi perhatian yang cukup besar.

Kesadaran ini semakin meningkat karena terdapat fakta bahwa daya dukung lingkungan semakin menurun, terutama dalam hal kualitas udara di perkotaan. Aktivitas ekonomi sangat mempengaruhi kualitas lingkungan, yang menyebabkan kualitas udara buruk sepanjang tahun di kota-kota seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang, dan Bandung.

Untuk mengatasi situasi ini, perlu upaya dari pemerintah daerah untuk menjaga keseimbangan antara kualitas lingkungan hidup dan peningkatan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Dibandingkan dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah cenderung lebih memahami kondisi lingkungan setempat.

Sejak UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) mulai berlaku, sebagian pendapatan pajak daerah harus dialokasikan secara khusus untuk mendukung sektor-sektor tertentu.

Meskipun istilah “earmarking tax” tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU PDRD, kebijakan ini mencerminkan konsep tersebut. Terdapat tiga kategori pajak daerah yang menggunakan prinsip earmarking tax.

Pertama, pajak rokok, di mana setidaknya 50% dari pendapatannya dialokasikan untuk mengatasi dampak negatif dari konsumsi rokok. Kedua, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), di mana minimal 10% dari pendapatannya disisihkan untuk pembangunan atau perawatan jalan serta peningkatan fasilitas transportasi umum. Ketiga, Pajak Penerangan Jalan (PPJ), yang sebagian dari pendapatannya digunakan untuk penyediaan penerangan di jalan umum.

Melalui UU Hak Keuangan dan Pajak Daerah (UU HKPD), pengaturan dialokasikan setidaknya 10% dari PPJ untuk penerangan jalan umum, termasuk infrastruktur pencahayaan jalan. UU HKPD juga memperkuat prinsip earmarking tax dengan menambahkan pajak air tanah (PAT).

Pendapatan dari PAT dapat digunakan untuk tujuan tertentu, dan setidaknya 10% dari penerimaan PAT dialokasikan untuk upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang berdampak pada kualitas dan kuantitas air tanah.

Kabupaten Malang merupakan salah satu wilayah yang menerapkan prinsip earmarking tax terhadap pajak rokok. Dana hasil pajak rokok yang dialokasikan melalui earmarking tax digunakan oleh Kabupaten Malang untuk merancang program atau kegiatan yang bertujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan fokus pada peningkatan kesehatan mereka, khususnya dalam menangani dampak negatif dari konsumsi rokok.

Baca juga:   Pelatihan Membatik Teknik Ecoprint bagi Ibu-Ibu PKK di Desa Sekarpuro, Sawojajar, Kabupaten Malang

Program ini mencakup berbagai kegiatan seperti pembangunan, pengadaan, dan pemeliharaan sarana dan prasarana untuk unit pelayanan kesehatan, penyediaan smoking area yang memadai bagi perokok, kampanye sosialisasi mengenai bahaya merokok, serta penggunaan iklan layanan masyarakat untuk menyampaikan risiko merokok. Semua kegiatan tersebut direncanakan untuk dilaksanakan dengan tepat sasaran melalui keterlibatan berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.

Pemerintah sebelumnya telah menginisiasi pembuatan regulasi terkait instrumen ekonomi lingkungan hidup melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017. Salah satu aspek dari regulasi ini adalah pengaturan mengenai penerapan pajak atas pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan dampak lingkungan yang ditimbulkannya.

Meskipun demikian, implementasi dari regulasi tersebut belum berjalan secara optimal karena masih memerlukan penyusunan aturan pelaksanaan. Hal ini menjadi penting karena jika diimplementasikan, pajak yang diterima dapat menjadi sumber pembiayaan yang besar untuk keseimbangan lingkungan.

Peraturan ini juga memberikan kesempatan untuk mengatur skema transfer fiskal dari pajak yang diterima untuk perlindungan lingkungan hidup. Pendapatan pajak dari sektor-sektor yang berbasis sumber daya alam tersebut dapat dialokasikan secara langsung (earmarking) untuk keseimbangan lingkungan.

Contohnya, sebagian dari pendapatan pajak penghasilan (PPh) badan atau pajak pertambahan nilai (PPN) dari pengusahaan hasil hutan (HTI/HPH) dapat dialokasikan secara khusus untuk pelestarian hutan. Prinsip pelaksanaannya serupa dengan pendapatan dari cukai rokok, di mana negara mengenakan cukai pada penjualan rokok dan kemudian mengalokasikannya secara langsung untuk program-program kesehatan, terutama yang berkaitan dengan dampak asap rokok.

Kebijakan perpajakan belum sepenuhnya efektif dalam melindungi lingkungan. Sebaliknya, kebijakan tersebut cenderung memberikan insentif kepada aktivitas yang merusak lingkungan.

Temuan dari KPK pada tahun 2018 menunjukkan bahwa penerapan tarif yang rendah dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap sektor-sektor ekonomi yang bergantung pada hutan dan lahan, seperti perkebunan kelapa sawit, hak pengelolaan hutan, dan pertambangan, telah menyebabkan dampak negatif terhadap eksploitasi lingkungan. Ini merupakan tantangan dalam meningkatkan sistem perpajakan yang mendukung pelestarian lingkungan.

Baca juga:   Analisis Kasus Google Berdasarkan Konsep BUT

Perlu diakui bahwa Undang-Undang Perpajakan di Indonesia belum sepenuhnya mengintegrasikan prinsip-prinsip pajak yang mendukung pelestarian lingkungan. Begitu juga, penerapan sistem earmarking terhadap pendapatan pajak untuk pelestarian lingkungan belum diterapkan dalam sistem perpajakan di Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 belum memiliki kekuatan yang memadai sebagai landasan hukum untuk implementasi pajak lingkungan dan pajak yang didasarkan pada sumber daya alam untuk pelestarian hutan. Meskipun peraturan ini telah mencakupnya, namun pelaksanaannya masih harus mengikuti sistem administrasi perpajakan yang diatur dalam berbagai Undang-undang perpajakan.

Oleh karena itu, jika kebijakan mengenai pajak lingkungan dan pajak yang berbasis sumber daya alam perlu dipromosikan, maka aturan-aturannya harus dimasukkan ke dalam undang-undang perpajakan yang sudah ada, seperti Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-lain.

Setelah itu, perlu dilakukan harmonisasi antara Undang-undang Perpajakan dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 yang mengatur tentang penerapan pajak pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan kriteria dampak lingkungan hidup.

Selama implementasi earmarking di Indonesia, pengawasan dan evaluasi terhadap program earmarking masih kurang efektif. Ini disebabkan oleh kurangnya lembaga yang memiliki kapasitas untuk melakukan pengawasan dan evaluasi tersebut.

Selain kekurangan dalam pengawasan dan evaluasi, manfaat dari earmarking yang tercermin dalam peningkatan penerimaan pajak belum terlihat dengan jelas.

Oleh karena itu, beberapa rekomendasi terkait implementasi earmarking di Indonesia adalah sebagai berikut: Pertama, ketika menetapkan earmarking di Indonesia, perlu mempertimbangkan prinsip manfaat bagi pembayar pajak untuk memperkuat hubungan ekonomi antara pengeluaran dan penerimaan. Saat ini, earmarking di Indonesia cenderung bersifat simbolis.

Kedua, penerapan earmarking di Indonesia harus memperhatikan konteks lokal, mengingat kebutuhan setiap daerah di Indonesia berbeda.

Ketiga, untuk mendukung kesuksesan penerapan earmarking, diperlukan pembentukan lembaga yang bertugas memantau dan mengevaluasi program earmarking. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan dana yang dialokasikan dan memperbaiki kekurangan dalam pencapaian sasaran earmarking.

Nama Penulis:

Marianti Misaria Siahaan

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar Anda!
Masukkan nama Anda disini