JAWA TIMUR – Pada Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro diketahui bahwa tersisa satu dalang keseninan Wayang Thengul yang masih bertahan hingga saat ini. Bapak Sumarno atau yang biasa dipanggil Mbah No ini masih sering menghadiri event maupun acara besar di sekitar wilayah Bojonegoro.
Mbah No juga diketahui ahli dalam membuat Wayang Thengul dalam bentuk tiga dimensi (3D). Mbah No pun masih menerima pesanan Wayang Thengul dengan berbagai macam bentuk wajah dengan harga yang bervariasi berdasarkan tingkat kesulitannya.
Wayang Thengul adalah salah satu jenis wayang di mana bentuk wayangnya berupa boneka berbahan kayu tiga dimensi (3D) yang umumnya sejenis wayang golek. Memainkan Wayang Thengul ini biasanya diiringi oleh suara karawitan (gamelan) dalam pertunjukkannya.
Dinamakan Wayang Thengul karena mengandung arti kata thengul yang berasal dari kata “methentheng” dan “methungul” yang arti dari keduanya karena terbuat dari kayu yang berbentuk tiga dimensi (3D) maka sang dalang yang memainkannya harus methentheng (tenaga ekstra) wayang agar methungul (muncul dan terlihat oleh penonton).
Dari kata sebelumnya, yang dalam Bahasa Indonesianya berbunyi “mengangkat wayang dengan tenaga ekstra dan serius agar muncul dan terlihat oleh penonton sepenuhnya”.
Cerita Wayang Thengul ini diketahui mengisahkan tentang kisah pada Kerajaan Majapahit dan Wayang Menak dari Kerajaan Kediri, dan juga kisah cerita para wali pada masa Kerajaan Demak.
Terdapat suatu wadah yang bernama kothak yang berfungsi untuk menyimpan boneka Wayang Thengul, yang umumnya pada satu kotak berisi tujuh puluhan tokoh nantinya dipentaskan oleh seorang dalang. Bapak Sumarno atau Mbah No sendiri telah mengeluti Keseninan Wayang Thengul dari sekitar tahun 80-an.
Pada daerah Margomulyo khususnya Desa Sumberejo ini, hanya Bapak Sumarno yang bisa membuat karya Wayang Thengul dalam bentuk tiga dimensi (3D) dan kegiatan mendalang wayang tersebut.
“Sampai saat ini belum ada penerus pembuatan Wayang Thengul dan kegiatan dalang dalam pementasannya, sehingga keberadaan Mbah No masih dibutuhkan untuk keberlanjutan Keseninan Wayang Thengul itu sendiri,” kata Wintari selaku pendiri Kampoeng Thengul.
Seiring berjalannya waktu umur Mbah No yang bertambah tua, pembuatan Wayang Thengul tidak lagi cepat dalam proses produksinya.
Dari maka itu, diharapkan ada penerus terlebih pada kawanan anak muda. Dengan penerus oleh anak muda ini, keberadaan kesenian wayang tidak hilang secara percuma dan pelestarian berlanjut hingga masa yang akan datang.
Dikatakan bahwa dalam pernyataan di atas, bahwa keberadaan dalang Wayang Thengul ini semakin menipis dalam ahlinya, sehingga dibutuhkan penerus oleh anak muda tersebut.
“Anak kecil dan anak muda di wilayah Sumberejo ini cukup banyak yang tertarik, tetapi media belajar Mbah No dan pengelola masih terbatas,” ujar Wintari.
Saran yang dapat disampaikan berupa meningkatkan kesadaran terlebih kepada generasi muda untuk melanjutkan kesenian Wayang Thengul. Dikatakan di atas bahwa telah banyak yang tertarik, tetapi pada langkah selanjutnya harus dilakukan secara nyata.
Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kesungguhan tokoh yang terlibat di dalamnya, sehingga penerus dalang ini ada dan tidak mati di satu waktu saja. Kegiatan pelestarian ini akan berjalan dengan baik, jika seluruh tokoh di dalamnya berjalan bersamaan dan sesuai kodrat kesenian Wayang Thengul itu sendiri.