Berikut Pandangan Ulama Moderat terhadap Poligami

Poligami

JAKARTA – Kalau poligami adalah “sunah Nabi”; mengapa Nabi Muhammad SAW (Rasulullah) melarang Ali Ibn Abi Thalib memadu Fatimah? Sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Timidzi, dan Abu Daud pun merekam peristiwa tersebut:

Ketika Fatimah akan dipoligami oleh Ali Ibn Abi Thalib, Rasulullah langsung ke masjid, dan berkata, “Sesungguhnya Bani Hisyam Ibn al-Mughirah telah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali Ibn Abi Thalib, tidak aku izinkan, kecuali Ali Ibn Abi Thalib menceraikan anakku, maka dia bisa menikahi putri mereka. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menggangu perasaannya mengganguku juga dan apa yang menyakitinya menyakitiku juga.”

Pandangan Buya Hamka terhadap poligami

Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka mengatakan pernikahan yang bahagia dan dicita-citakan adalah monogami. Menurutnya, rumah tangga yang monogami lebih bahagia daripada mereka yang berpoligami.

Alasan Buya Hamka menganjurkan monogami karena dia melihat keburukan yang ditimbulkan oleh poligami, yaitu tidak adanya ketenteraman batin dan keadilan hati kita. Gurunya yang berpoligami menasihatinya agar tidak berpoligami karena itu hanya membuat hati menjadi tidak tenang.

Selain itu, Buya Hamka juga melihat para orang-orang besar seperti datuk, sidi, bagindo, dan lain-lainnya atau para tuan guru di Minangkabau yang tidak mempunyai tempat berteduh yang tetap dan tempat yang tentram karena menikah dengan empat istri.

Alasan Islam memperbolehkan poligami

Sebelumnya, filsuf sekaligus ulama Muhammad Abduh (1849-1905), menyatakan poligami diperbolehkan karena waktu itu keadaannya sangat memaksa. Pertama, jumlah pria yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita karena meninggal dalam peperangan. Maka, untuk memperbanyak keturunan yang beragama Islam para pria boleh menikahi wanita lebih dari satu.

Baca juga:   Diizinkan Istri untuk Poligami, Aldi Taher: Aku Mikir-Mikir Lagi

Kedua, waktu itu pemeluk agama Islam masih sedikit sekali. Maka, dengan poligami, wanita yang dinikahi pria Islam diharapkan masuk Islam dan mempengaruhi sanak keluarganya.

Ketiga, dengan berpoligami terjalinlah ikatan pernikahan antar suku yang membentuk tali persaudaraan untuk mencegah peperangan.

Dalam Fi Syi’r al-Jahili, Thaha Husayn mengatakan kalau Al-Quran adalah cermin budaya masyarakat Arab jahiliyah (pra-Islam). Menurutnya, perempuan kala itu dalam kondisi termarginalkan dan menyedihkan. Oleh karena itu, QS. al-Nisa (4): 3 harus dilihat sebagai ayat yang belum tuntas.

Menurut Thaha Husayn, Al-Quran merupakan produk sejarah yang tak bisa lepas dari konteks sosial, budaya, dan politik masyarakat Arab jahiliyah saat itu.

Untuk menurunkan ajaran etik, moral, maupun hukum, Al-Qur’an membutuhkan waktu dan proses. Thaha Husayn mengambil contoh larangan umat Islam meminum khamar, yang membutuhkan waktu hingga tiga kali.

Sama halnya dengan poligami, menurutnya, hukum poligami hanya berlaku sementara pada masa Rasulullah saja—Al-Qur’an membutuhkan waktu untuk mencapai tujuan sebenarnya yaitu monogami.

Praktik pernikahan budaya Arab pra-Islam

Dr. Najman Yasin dalam penelitiannya tentang perempuan pada abad pertama Hijriah (abad ketujuh Masehi) mengungkapkan bahwa budaya Arab sebelum Islam mengenal praktik pernikahan yang tidak terhormat (nikah al-jahili), di mana lelaki dan perempuan terlibat dalam poliandri dan poligami.

Pertama, terdapat pernikahan sehari, di mana ikatan pernikahan hanya berlangsung selama satu hari.

Kedua, terdapat pernikahan istibda’, di mana suami meminta istri untuk berhubungan dengan lelaki lain dan suaminya tidak akan menyentuhnya sehingga dapat dipastikan apakah istri tersebut hamil dari lelaki tersebut atau tidak.

Baca juga:   Diizinkan Istri untuk Poligami, Aldi Taher: Aku Mikir-Mikir Lagi

Jika hamil, maka lelaki tersebut dapat memilih untuk menikahinya. Namun, jika tidak, perempuan tersebut akan kembali kepada suaminya. Pernikahan ini hanya dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan.

Ketiga, terdapat poliandri tipe pertama, di mana perempuan memiliki lebih dari satu suami (antara dua hingga sembilan orang). Setelah hamil, istri akan memutuskan siapa suami dan ayah dari anak tersebut.

Keempat, terdapat poliandri tipe kedua, di mana semua lelaki dapat memiliki hubungan dengan seorang wanita, tanpa memandang jumlah lelaki yang terlibat. Setelah hamil, lelaki-lelaki yang terlibat akan berkumpul, dan anak tersebut akan ditempatkan di suatu tempat. Mereka kemudian akan mendekat ke salah satu dari mereka, yang akan diakui sebagai ayahnya.

Kelima, terdapat pernikahan-warisan, di mana anak lelaki menerima warisan dari ayahnya dengan menikahi ibu kandungnya sendiri setelah kematian ayahnya.

Keenam, terdapat pernikahan-paceklik, di mana suami meminta istrinya untuk menikah lagi dengan orang kaya demi mendapatkan uang dan makanan. Pernikahan ini dilakukan karena tekanan kemiskinan, dan setelah perempuan tersebut menjadi kaya, dia akan kembali kepada suaminya.

Ketujuh, terdapat pernikahan-tukar guling, di mana suami dan istri saling menukar pasangan.

Praktik-praktik pernikahan Arab sebelum Islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi, bahkan hingga masa Khulafa al-Rashidin.

Tinjauan Pustaka:

Badruzaman, Abad. 2015. Memuliakan Istri. Pustaka Akhlak.

Hamka, Buya. 1987.Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Yakin, Ayang Utriza. 2016. Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, Non-Muslim, Poligami, dan Jihad. Jakarta: Kencana Rawamangun.

Penulis: Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar Anda!
Masukkan nama Anda disini