SEMARANG – Aktivitas ekspor dan impor merupakan hal yang sangat perlu dilakukan oleh suatu negara karena keduanya memiliki pengaruh yang besar bagi perekonomian. Aktivitas ekspor dapat berguna untuk meningkatkan keuntungan serta menambah cadangan devisa Negara. Sedangkan, aktivitas impor dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan juga menghemat biaya produksi barang tertentu.
Selain itu, ekspor dan impor juga bermanfaat untuk mengendalikan harga barang di dalam negeri berkaitan dengan permintaan dan penawaran. Misalnya, saat permintaan akan suatu barang itu meningkat tajam tetapi produsen dalam negeri tidak dapat memenuhi permintaan tersebut maka dapat menyebabkan kelangkaan serta melonjaknya harga barang di pasar.
Oleh karena itu, pemerintah dapat berupaya memenuhi kekurangan hasil produksi tersebut dengan melakukan impor barang dari negara lain. Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi setelahnya juga dapat membantu menstabilkan harga di pasar.
Contoh lain, ketika hasil produksi dalam negeri mampu melebihi jumlah permintaan atau kebutuhan di masyarakat, maka akan menyebabkan ekses hasil produksi yang akan membuat harga jual menjadi rendah dan merugikan penjual. Dalam hal ini pemerintah dapat melakukan ekspor barang tersebut ke negara lain untuk menambah keuntungan dan memperluas pasar.
Hanya saja, aktivitas ekspor dan impor atau perdagangan internasional ini dapat membawa beberapa dampak negatif bagi negara. Salah satu yang menjadi sorotan adalah masalah ketergantungan. Bukan hanya ketergantungan dari sisi barang yang diperjualbelikan, tetapi juga ketergantungan berkaitan dengan alat pembayaran yang digunakan.
Ketergantungan menyebabkan perekonomian sebuah negara menjadi tidak mandiri karena terlalu bergantung pada negara lain yang lebih superior. Akibatnya, kondisi ekonomi negara tersebut juga akan mudah terganggu apabila negara yang lebih superior mengalami guncangan.
Padahal, permasalahan ekonomi yang dihadapi suatu negara juga disebabkan oleh berbagai faktor diluar ekonomi, seperti sosial, politik, dan budaya. Sehingga, apabila kondisi negara lain juga ikut memberikan dampak negatif terhadap perekonomian, tentunya akan memberikan beban tersendiri bagi peningkatan atau pemulihan ekonomi negara yang bergantung.
Ketergantungan terhadap barang impor bukanlah masalah yang baru terjadi akhir-akhir ini. Hal ini sudah sering terjadi di Indonesia juga negara-negara lain. Misalnya, Indonesia yang mengalami ketergantungan dengan impor daging sapi dari Australia.
Berdasarkan data impor daging sejenis lembu dari BPS, pada tahun 2021, Indonesia mengimpor 122.863,5 ton daging sapi atau 44,9% dari total impor daging sapi pada tahun tersebut dan disusul oleh India, Amerika Serikat, juga Selandia Baru.
Selain itu, besarnya impor dari Australia pada tahun 2017 sampai 2021 juga terus mengalami peningkatan. Mengutip dari Harian Kompas, Selasa (25/1/2021), Djoni Liano selaku Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) menyebutkan pertumbuhan produksi daging sapi lokal belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi karena pertumbuhannya berkisar 5% per tahun sedangkan pertumbuhan rata-rata konsumsi sekitar 8,1% per tahun.
Sehingga ketergantungan akan impor daging sapi ini belum bisa dilepaskan. Padahal pada tahun 2021 tersebut, pemerintah Australia berusaha mengurangi ekspor sapi karena masalah semakin sedikitnya populasi sapi di Australia sehingga menyebabkan masalah dalam produksi.
Oleh karena itu, pada tahun tersebut terjadi lonjakan harga daging sapi di Indonesia yang terjadi akibat pengaruh dari gangguan produksi di negara pengimpor yaitu Australia. Dalam hal ini, pemerintah pun segera mencari pasokan daging sapi dari negara lain seperti Brasil dan Meksiko.
Ketergantungan juga dapat terjadi pada mata uang alat pembayaran yang digunakan. Dalam hal ini, mata uang yang sering digunakan dalam transaksi adalah dolar Amerika Serikat (AS). Dolar AS sangat sering digunakan dalam transaksi perdagangan internasional di dunia. Hal ini karena dolar AS dianggap lebih stabil daripada mata uang negara lain.
Alasan ini juga diperkuat dengan posisi AS sebagai salah satu negara dengan perekonomian terkuat juga salah satu kekuatan militer terbesar di dunia sehingga kondisi ekonomi dan politik negara ini cenderung lebih stabil.
Dari sini terlihat bahwa negara-negara di dunia sangat bergantung pada dolar AS. Termasuk Indonesia yang jika dilihat dari besarnya transaksi ekspor dan impornya yang menggunakan dolar AS, masih sangat mendominasi.
Menurut data dari Bank Indonesia, besarnya transaksi ekspor yang menggunakan dolar AS mencapai 22.423.824 (ribu USD) pada, sedangkan transaksi impor yang menggunakan dolar AS mencapai 16.595.784 (ribu USD) pada Desember 2022.
Apabila angka tersebut dipersentasekan, nilainya mencapai 94% dari total nilai ekspor berdasarkan jenis valuta asing dan sebesar 85,45% dari total nilai impor berdasarkan jenis valuta asing.
Sama seperti ketergantungan terhadap impor barang, ketergantungan terhadap dolar AS tentunya juga menimbulkan efek kurang baik. Sederhananya, penggunaan dolar yang terlalu berlebihan akan menyebabkan mata uang tersebut menguat secara signifikan karena banyaknya permintaan dan sebaliknya mata uang lokal kita akan melemah.
Dampak dari hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan biaya impor juga beban pinjaman yang akan naik nilainya.
Untuk itu, Bank Indonesia bersama pemerintah telah melakukan beberapa langkah untuk menangani masalah ketergantungan terhadap dolar ini. Diantaranya dengan mengurangi defisit transaksi berjalan, memperdalam dan memastikan pasar keuangan dalam negeri menjadi lebih likuid, dan mengelola inflasi.
Audina Soma Dwi Witari, Grace Natalia Marpaung
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang