MAKASSAR – Badik adalah senjata pusaka tradisional masyarakat Sulawesi Selatan. Nama “badi'” merupakan penyebutan dalam bahasa Makassar, sedangkan dalam bahasa Bugis disebut sebagai “kawali”.
Badik sebagai salah satu jenis benda hasil dari suatu proses kegiatan teknologi menempa logam sebagai perwujudan dari kebudayaan material masyarakat Sulawesi Selatan.
Badik sebagai benda budaya, dipahami dan dipercaya oleh masyarakat memiliki berbagai fungsi dan kegunaan yang tidak terbatas hanya sebagai senjata tajam, masyarakat percaya bahwa badik mempunyai nilai dan makna tertentu.
Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu, tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan.
Dalam pandangan orang Suku Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya tergantung dari pamor badik itu sendiri.
“Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang memilikinya,” ujar Hariadi selaku pelestari badik dari Palopo.
Hariadi menjelaskan umumnya badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik.
Selain itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya. Seperti yang kami rangkum, berikut beberapa badik dari tiga kerajaan besar di Sulawesi Selatan: Gowa, Luwu, dan Bone.
Badik Gowa
Badik Gowa terdiri tiga jenis yakni Taeng, Panjarungang, dan Campagayya pada Kabupaten Gowa. Badik Taeng memiliki ciri khas memiliki perut yang lebar atau mirip dengan perut buncit, sementara Panjarungang memiliki perut yang tidak terlalu buncit.
Secara umum badik ini memiliki kale (bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangngulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik).
Badik Luwu
Badik Luwu memiliki bilah bagian bawah yang lurus dari gagang hingga meruncing di ujung. Badik Luwu yang memiliki riwayat masa lalu dan pamor yang unik, juga menjadi buruan para kolektor.
Sesuai dengan namanya, senjata tradisional Sulawesi Selatan Badik Luwu ini berasal dari budaya masyarakat di Kabupaten Luwu pada masa lalu. Bentuk senjata tradisional badik ini membungkuk, mirip bungkuk kerbau. Bilahnya lurus dan meruncing pada bagian ujung.
Badik Bone
Badik Bone, Suku Bugis memiliki beberapa jenis badik seperti Badik Gecong, bagi masyarakat Bugis Bone, badik jenis ini biasanya dipakai oleh seorang raja dan bangsawan.
Badik Gecong yang memiliki bilah melengkung bagian dalam di dekat gagang. Badik Gecong umumnya berasal dari masyarakat Bugis Bone, Soppeng, dan Wajo. Selain Gecong, ada juga badik jenis Toasi dari Sidenreng. Perbedaan badik Gecong dan Toasi terletak di gagangnya. Badik Toasi memiliki gagang lurus.
Dari keseluruhan badik yang ada di tiga kerajaan besar di atas, hampir semuanya memiliki fungsi dan ciri yang sama. Perbedaan hanya terdapat pada bentuk dan pamor masing-masing kemudian penyelarasan untuk pemiliknya.
Dalam bincang-bincang seputar tentang Badik, kami sangat terkesan dengan salah satu filosofi yang Hariadi katakan. Menurutnya, badik itu ibarat suatu kesatuan yang tidak boleh terpisahkan, dalam hal ini gagang badik sebagai pemimpin, bilah adalah masyarakat, kemudian sarung badik adalah wadahnya.
Seperti dalam konsep pemerintahan, rakyat dan pemimpin suatu kesatuan yang saling membutuhkan dalam menentukan sesuatu, begitu pula dengan sarung badik yang tak jarang kita temui ada beberapa yang diukir atau diberi hiasan yang merupakan suatu konsep bagaimana agar kiranya suatu wadah terlihat hidup.
Lebih lanjut, Hariadi mengatakan proses pembuatan badik di zaman dahulu dengan menempa logam dan material lainnya tergantung untuk apa badik tersebut, apakah dipakai sara’ berdagang, melamar, dan menanam padi.
Sebagai pelestari badik, dia sangat menyayangkan dengan banyaknya oknum-oknum yang menyalahgunakan badik. Terlebih dari itu dia berharap agar kiranya perlunya kesadaran untuk memahami esensi dan filosofi badik itu sendiri. “Kita tinggal melestarikan,” pungkasnya.
M Alam
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar