SURABAYA – Tanggal 1 Oktober 2022 menambah catatan kelam dunia sepak bola Indonesia. Sebanyak 129 orang meninggal akibat kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Laga Derby Jawa Timur yang mempertemukan “musuh bebuyutan” Arema FC dan Persebaya Surabaya berakhir dengan kekalahan sang tuan rumah, Arema FC.
Tragedi pun dimulai dengan rasa tidak terima dari suporter Arema FC yang berujung pada bentroknya para suporter dengan pihak kepolisian. Gas air mata pun terpaksa dilepaskan demi meredam kerusuhan, namun justru semakin memperkeruh keadaan.
Mobilitas penonton semakin sempit, semua berebut keluar akibat rasa sesak napas yang tidak dihindarkan pasca disemprotkannya gas air mata. Insiden saling mendorong, saling injak-menginjak, saling berebut terjadi, akibatnya banyak korban meninggal di tempat.
Hingga artikel ini dituliskan, sebanyak 129 orang dipastikan meninggal dunia akibat tragedi ini, 20 masih dalam perawatan intensif, 180 luka-luka.
Menarik atensi dunia
Perhatian tidak hanya ramai di media massa nasional saja, tetapi beberapa media internasional juga menyoroti Tragedi Kanjuruhan. Alasan mendasarnya adalah jumlah korban jiwa yang mencapai angka 129, menjadi tragedi sepak bola paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola dunia.
Sedangkan Estadio Nacional Disaster di Lima, Peru pada tahun 1964 masih menjadi tragedi sepak bola paling mematikan dengan jumlah korban 328 jiwa.
Tragedi Kanjuruhan bahkan lebih mematikan jika dibandingkan dengan Tragedi Hillsborough, Inggris yang memakan korban sebanyak 96 jiwa; dan Tragedi Accra di Ghana yang memakan korban hingga 126 jiwa.
Alasan lain mengapa Tragedi Kanjuruhan menarik perhatian dunia adalah kalkulasi sanksi yang akan diberikan oleh Federation Internationale de Football Association (FIFA) terhadap Indonesia.
Indonesia sendiri dijadwalkan akan menjadi tuan rumah dalam World Cup U-20 pada tahun 2023 mendatang. Namun dengan adanya kerusuhan ini, mungkin saja FIFA kembali mempertimbangkan, terlebih lagi seluruh dunia sedang mengamatinya.
Tragedi Kanjuruhan mungkin menjadi saksi bisu betapa peliknya korelasi antara fanatisme dan kebencian yang dapat mengorbankan nyawa manusia.
Firsty Chintya Laksmi Perbawani
Dosen Hubungan Internasional, UPN Veteran Jawa Timur