YOGYAKARTA – Baru-baru ini terjadi kasus pemerkosaan yang dialami belasan santriwati di daerah Bandung kawasan Cibiru yang terjadi dari tahun 2016 hingga 2021 dan diantaranya sudah melahirkan.
Berdasarkan informasi yang beredar, aksi bejat itu dilakukan oleh Herry Wirawan (36), guru yang juga disebut sebagai pemimpin pesantren. Adapun beberapa fakta terkait kasus pemerkosaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Anak yang lahir dari santriwati korban pemerkosaan Herry Wirawan sebanyak 9 bayi, dan dua anak masih dalam kandungan.
2. Anak yang lahir dijadikan alat untuk meraup donasi.
3. Dilakukan di pesantren-hotel yang diduga pakai dana sumbangan.
Menurut Agus Mudjoko, jaksa yang menangani kejadian tersebut, bahwa perbuatan yang dilakukan Herry Wirawan sudah mengakibatkan beberapa korban hamil dan sudah melahirkan.
“Sampai sejauh ini HW yang merupakan oknum didakwa dengan dakwaan pasal 81 ayat (1) ayat (3) pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Melainkan itu, untuk dakwaan subsider Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP,” ucapnya.
“Ancaman pidananya 15 tahun. tapi di sini ada pemberatan. Di sini dia sebagai guru sehingga hukuman ancaman jadi 20 tahun,” kata Plt Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Riyono.
Dari kasus di atas, tema yang akan penulis bahas mengenai trauma pelecehan korban seksual. Trauma adalah salah satu dampak psikis yang berkaitan erat dengan pengalaman yang dialami seseorang sehingga memberikan dampak yang negatif pada dirinya untuk sekarang dan masa depan. (Anwar dalam Shelrivonia, 2018:4)
Kasus pemerkosaan tersebut belakangan ini menjadi buah bibir di media sosial. Menurut opini penulis terkait dengan kasus pelecehan seksual, memori trauma yang mengandung emosi negatif akan membuat menjadi lebih adaptif sehingga melakukan mekanisme pertahanan diri.
Emosi negatif akan mengarahkan ke perilaku spesifik, sehingga membuat korban merasa selalu terbayang-bayang akan kejadian yang telah dialaminya.
Banyak sekali masyarakat yang beranggapan bahwa adanya kejadian tersebut merupakan salah korban, tidak sepatutnya kita membenarkan asumsi masyarakat yang memiliki pemikiran tersebut. Jika kita di posisi korban pastinya akan sangat tertekan karena semua pihak menyalahkannya.
Dilihat dari kasus tersebut menjadi bukti bahwa korban memakai pakaian tertutup dan berada dalam lingkungan pendidikan berbasis agama. Namun, kenapa para santriwati itu masih menjadi korban pemerkosaan?
Pertama, karena Herry Wirawan memiliki kuasa dalam lingkungan tempatnya mengajar hingga dengan gampangnya mengancam para santriwati dengan dalih “kamu harus taat kepada guru”.
Kedua, pelaku mencari santriwati yang berada di posisi rentan, dalam artian kesulitan dan memaksa korban menjadi kuli bangunan di pesantren.
Dan ketiga, karena pelaku memiliki otak jahat dengan cara memanfaatkan keadaan, dengan cara begitu si korban tidak bisa melawan serta dengan modus akan membiayai biaya kuliah dan menikahi.
Rasa trauma merupakan hal yang paling membekas di memori otak. Karena itu, orang-orang yang di sekeliling korban harus memberikan perhatian penuh dan mengajak korban untuk selalu tidak menyalahkan dirinya.
Silvia Mutiara Bintang
Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta