SEMARANG – Kekerasan seksual merupakan masalah yang serius di perguruan tinggi, dampaknya yang langsung merusak mental korban sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya itu, korban yang terkena serangan kekerasan seksual berpeluang mengalami trauma seumur hidup.
Pasca kejadian, aktivitas korban baik primer seperti menjalani Pendidikan, maupun aktivitas sekunder seperti bermain biasanya akan terganggu. Maka dari itu, penting bagi masyarakat seperti kita maupun pihak pemerintahan memberantas hal ini agar tidak sampai terjadi.
Dilansir dari Kompas (11/11/2021) kekerasan seksual sendiri menurut naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penghapusan kekerasan oleh Komnas Perempuan adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang.
Di perguruan tinggi, angka kekerasan seksual patut diresahkan. Dilansir dari CNN Indonesia (11/11/2021) survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat bahwa 77 persen dosen mengakui tindak kekerasan seksul terjadi di lingkup perguruan tinggi, 63 persen diantaranya memilih untuk tidak melaporkan tindak kekerasan seksual yang mereka ketahui dikarenakan mereka khawatir terhadap stigma negatif dari masyarakat yang akan disematkan kepada penyintas.
Pemerintah sendiri menanggapi masalah ini dengan tidak mau tanggung. Baru–baru ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menetapkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS). Peraturan ini dijadikan pemerintah sebagai tombak solusi maraknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 dalam dokumennya menjelaskan bahwa tujuan peraturan ini adalah untuk digunakan sebagai pedoman penyusunan kebijakan dan pengambilan tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual serta menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus di perguruan tinggi.
Mencegah tindakan kekerasan seksual dari diri sendiri
Dengan adanya Permendikbudristek PPKS, kekerasan seksual di perguruan tinggi akan lebih diperhatikan dan cukup untuk membuat para pelaku kekerasan seksual merasa was-was. Tindakan pencegan pada peraturan itu yang salah satunya adalah membatasi pertemuan antara mahasiswa dengan pendidik dan atau tenaga kependidikan di luar jam operasional kampus jelas akan sangat membantu memberantas kekerasan seksual.
Tapi masalahnya apakah itu bisa cukup menghapus akar kekerasan seksual? Akar dari kekerasan seksual adalah pelakunya. Seketat apapun peraturan pasti ada cara para pelaku menemukan lubang kesempatan walaupun sesempit lubang tikus.
Maka dari itu, selain usaha dari luar, usaha atau peran dari dalam diri tidak kalah penting. Apalagi bagi perempuan yang biasanya mempunyai sifat lemah lembut. Sebagai pribadi, tindakan yang tepat dilakukan adalah berusaha meminimalisir dan mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Pemilihan pergaulan yang sehat, dengan siapa kita bergaul menentukan bagaimana orang bersikap dan menilai. Para pelaku kekerasan seksual berasal atau lahir dari pergaulan-pergaulan yang sembrono dan tidak sehat seperti mabuk-mabukkan. Maka jangan dekati pergaulan seperti itu. Lingkungan yang multikultural di perguruan tinggi menuntut kita cermat memilih pergaulan agar tidak tejerumus sampai membuka peluang para pelaku kekerasan seksual.
Sikap yang tegas dan berani serta jangan percaya sepenuhnya kepada seseorang juga merupakan salah satu kunci mencegah Kekerasan seksual. Perguruan tinggi merupakan tempat di mana berkumpulnya sesorang yang sudah memasuki usia dewasa awal. Tak jarang kita temui perilaku-perilaku yang menyimpang norma dengan dasar karena tertarik oleh lawan jenis.
Sesorang yang tidak tahan bisa dengan sengaja menyentuh tubuh lawan jenis bahkan sampai melakukan pemerkosaan sekalipun. Sikap yang tegas dan berani harus diterapkan pada keadaan seperti ini, walaupun seseorang yang terindikasi sikap itu merupakan orang yang biasa kita temui.
Menghindar dari percakapan dan pembahasan yang negatif. Percakapan seperti membahas hal-hal porno salah satunya. Candaan yang dilontarkan di tongkrongan para mahasiswa kadang sampai melampaui batasan, setelah mengobrol panjang dan bercanda tawa, pembahasan akan sulit terkontrol. Pembahasan yang tidak terkontol bisa menjadi peluang memancing pelaku kekerasan seksual melancarkan aksinya. Menghindari percakapan jika sudah membahas hal-hal yang tidak senonoh akan lebih tepat dalam kondisi ini.
Dengan menerapkan tindakan pencegahan dari diri sendiri seperti yang diuraikan, maka kita mempunyai peran memberantas kekerasan seksual di perguruan tinggi. Selain faktor eksternal yaitu Permendikbudristek PPKS, faktor internal yaitu diri sendiri menjadi pelengkap tertutupnya jalan yang bisa dilalui para pelaku kekerasan sesksual untuk melakukan aksinya.
*) Muhammad Arfian Faqih, Mahasiswa Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (UNNES)