Pengamat: WNI yang Tergabung Jaringan ISIS Sudah Kehilangan Kewarganegaraan

Pengamat dan juga Guru Besara Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana.(Foto:Google).

harianpijar.com, JAKARTA – Pengamat dan juga Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana berpendapat WNI yang tergabung ke dalam jaringan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) sebenarnya otomatis kehilangan kewarganegaraan Indonesia.

Selain itu, pemerintah juga harus mempertimbangkan lagi wacana untuk memulangkan 600 anggota ISIS yang berasal dari Indonesia.

“Itu berdasarkan Pasal 23 UU Kewarganegaraan 2016 khusunya huruf (d) dan huruf (f). Huruf (d) menyebutkan kehilangan kewarganegaraan disebabkan karena “masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden,” kata Hikmahanto saat dikonfirmasi, Kamis 6 Februari 2020.

Sedangkan, huruf (f) dalam pasal tersebut menyebutkan “secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.”

Baca juga:   Pengamat: Presiden Dinilai Miliki Banyak Pilihan Perbaiki Kekacauan Legislasi

“Kewarganegaraan mereka bisa saja dikembalikan namun mereka wajib mengikuti prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” lanjutnya.

Menurut Hikmahanto, agar pemerintah bisa merujuk pada Kasus Arcandra Taher mantan Wakil Menteri ESDM pascakehilangan kewarganegaraan karena memiliki kewarganegaraan ganda.

Karena itu, ada dua hal yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah jika menerima kembali 600 warga ISIS asal Indonesia. Selain itu, pertimbangan ini juga tidak sekedar penenuhan formalitas yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau alasan kemanusiaan.

Pertama, seberapa terpapar warga ISIS asal Indonesia dengan ideologi dan paham organisasi radikal itu.

Baca juga:   Pengamat Nilai Secara Hukum Ahok Tak Dilarang Jadi Menteri di Kabinet Jokowi

“Asesmen ini perlu dilakukan secara cermat per individu,” ujar Hikmahanto.

Selanjutnya, dijelaskan Hikmahanto, bahwa asesmen mengenai paparan ideologi ini penting agar mereka tidak menyebarkan ideologi dan paham ISIS di Indonesia.

Kedua, seberapa bersedia masyarakat di Indonesia menerima kehadiran mereka kembali.

Karena, kesediaan masyarakat Indonesia tidak hanya dari pihak keluarga, tetapi dari masyarakat sekitar dimana mereka nantinya bermukim, termasuk pemerintah daerah.

“Dewasa ini kebijakan pemerintah pusat bila tidak dikomunikasikan dengan baik ke daerah, bisa memunculkan penolakan dari daerah. Akibatnya pemerintah pusat akan mengalami kerepotan tersendiri,” jelas Hikmahanto Juwana. [elz/med]

SUMBERMedia Indonesia

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar Anda!
Masukkan nama Anda disini