
harianpijar.com, JAKARTA – Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama dan Persaudaraan Alumni (PA) 212, secara bersama-sama mengeluarkan pernyataan, terkait kasus-kasus megakorupsi yang terjadi di Indonesia dari mulai kasus Harun Masiku, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), hingga korupsi kondensat.
Selain itu, pada 10 poin pernyataan bersama tersebut, FPI dan kawan-kawan juga menyindir ada pihak yang kerap menuduh pihak lain anti-Pancasila dan menyebut kasus korupsi bertentangan dengan Pancasila.
“Sebagai negara yang menganut ideologi Pancasila dan anda anda sangat sering menuduh pihak lain anti Pancasila, maka kami nyatakan perbuatan korupsi anda tersebut adalah sangat bertentangan dengan Pancasila dan bahkan menginjak-injak Pancasila dengan menjadikannya sebagai alat pemukul lawan politik dan membungkus perilaku koruptif yang anda lakukan,” demikian bunyi poin terakhir dalam pernyataan bersama yang diterima, Kamis 23 Januari 2020 kemarin.
Selanjutnya, dalam surat pernyataan yang terdapat nama Ketua Umum FPI Ahmad Shobri Lubis, Ketua GNPF Ulama Yusuf Muhammad Martak dan Ketua PA 212 Slamet Ma’arif tersebut disebutkan ada kasus-kasus megakorupsi atau yang merugikan negara triliunan rupiah dan kasus-kasus korupsi yang melibatkan lingkaran dalam kekuasaan semakin menjadi jadi dan menggila.
“Bahkan ditenggarai menjadi modus korupsi untuk pembiayaan politik,” demikian poin pembuka pernyataan bersama tersebut.
Selain itu, FPI juga merinci sejumlah kasus korupsi yang ditutup-tutupi dan melibatkan pihak dalam.
“Baik sebagai pelaku maupun sebagai aktor yang berperan membangun skenario untuk menutup-nutupi kasus agar tidak terbongkar,” kata mereka.
Kemudian, bahwa ada empat kasus yang disinggung FPI dkk, yakni pertama kasus Kondesat yang melibatkan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Kemudian, kedua kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan kerugian total nasabah mencapai Rp13 triliun, ketiga kasus Asabri yang merugikan negara lebih kurang Rp 10 T.
“Empat, kasus Korupsi yang melibatkan komisioner KPU dan Petinggi PDI Perjuangan. Yang terkait erat dengan integritas penyelenggaraan Pemilu yang bersih, jujur, dan adil,” demikian tertulis dalam pernyataan tersebut.
Sementara, pada 10 poin bersama tersebut, FPI dkk menyelipkan sejumlah tuntutan. Bahkan, beberapa di antaranya mendesak Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibubarkan, karena dinilai menjadi penghambat pemberantasan korupsi, penuntasan kasus korupsi kondensat dan memeriksa pelaku yang meloloskan tersangka ke luar negeri.
Selain itu, FPI dkk juga mendukung oposisi untuk mendorong pembentukan pansus Jiwasraya dan Asabri.
“Kami memandang pimpinan KPK saat ini menempatkan posisinya di bawah ketiak penguasa dengan contoh menghadap ke Menteri Kemaritiman dan Investasi yang Tupoksi nya sama sekali tidak terkait dengan Tupoksi KPK,” demikian bunyi pada poin keempat.
Kemudian, FPI dkk juga mendesak agar para pejabat dan elite partai yang terlibat dalam berbagai kasus megakorupsi untuk segera mundur dan berhenti tampil sebagai tokoh publik. Pasalnya, mereka disebutkan sudah tidak memiliki legitimasi moral untuk terus berkuasa.
“Kami mendesak agar Yasona Laoly untuk segera meletakkan jabatan karena tidak pantas dan sangat memalukan seorang yang memegang jabatan Menteri tampil menjadi pembela dalam kasus megakorupsi,” pada poin ke tujuh.
Seperti diketahui, Yasonna Laoly sendiri memang tengah mendapat tekanan publik terkait jabatannya sebagai Menkumham. Bahkan, kemarin masyarakat sipil melaporkan Yasonna Laoly ke KPK dengan dugaan merintangi penyidikan kasus tipikor PAW anggota DPR 2019-2024 yang menjerat eks caleg PDIP Harun Masiku dan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Sementara, laporan diterima oleh Penerima Laporan Pengaduan Masyarakat atas nama Swasti Putri M dengan pelapor Kurnia Ramadhana. Selain itu, barang bukti yang diserahkan adalah satu berkas dokumen yang terdiri dari hasil kajian, surat dan tangkapan layar CCTV ketika Harun Masiku melintas di Bandara Soekarno Hatta.
Selanjutnya, Yasonna Laoly juga dikritik karena dirinya berada dalam Tim Hukum PDIP yang menindaklanjuti OTT KPK atas kasus suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Bahkan, para pengamat mendesak Yasonna Laoly untuk bisa memosikan dirinya yang kini sebagai Menkumham.
Sedangkan, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat ditanyakan mengenai hal tersebut pada 17 Januari 2020 lalu menyerahkan hal tersebut kepada Yasonna Laoly untuk ditanyakan.
“Tanyakan ke Pak Yasonna Laoly, kan Pak Yasonna kan juga pengurus partai (PDIP),” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berbincang-bincang dengan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, saat itu.
Namun, Yasonna Laoly hingga kemarin malam dihubungi untuk meminta penjelasan soal dugaan melakukan obstruction of justice dalam kasus Harun Masiku, tidak mengangkat saat ditelepon dan belum membalas pesan singkat yang dikirimkan. [elz/cnn]