harianpijar.com, JAKARTA – Penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai memiliki risiko politik.
“Memang pilihan yang serba sulit, semua (keputusan) ada risikonya,” kata Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Katolik Parahyangan, Prof Asep Warlan saat dihubungi, di Jakarta, Jumat, 20 September 2019.
Menanggapi desakan diterbitkannya Perppu KPK, Asep Warlan mengatakan Presiden bisa mengeluarkan perppu untuk membatalkan UU KPK yang baru, dan masyarakat pasti akan menyambutnya sebagai langkah yang aspiratif dan demokratis. Selain itu, resistensi publik sangat kuat terhadap UU KPK yang baru karena memang banyak permasalahan yang terkandung dalam revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 itu.
“Kalau itu (perppu) dikeluarkan, artinya Presiden aspiratif, menerima masukan publik untuk menghentikan pemberlakuan UU KPK yang baru,” ucapnya.
Lebih lanjut, dijelaskan Asep Warlan, Presiden juga perlu berhitung bahwa langkah tersebut akan membuatnya bermasalah dengan DPR dalam menjalankan pemerintah yang akan datang.
“Karena selama ini Presiden kan menyetujui, sangat mengapresiasi DPR atas UU ini, dan sebagainya, tetapi kemudian berbalik arah dengan mengeluarkan perppu,” ujar Asep Warlan.
Asep Warlan juga menegaskan, jika Presiden menerbitkan perppu itu sama saja dengan menampar muka DPR di hadapan rakyat, dan akan dinilai tidak konsisten sikapnya oleh parpol-parpol di DPR.
“Karena UU ini kan inisiatif DPR, kalau (UU) inisiatif Presiden agak lumayan, istilahnya koreksi terhadap dirinya sendiri,” tuturnya.
Sementara, menurut Asep Warlan, opsi lain yaitu menyerahkan kepada masyarakat untuk menggugat UU KPK yang baru kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
“Untuk membatalkan UU KPK sebenarnya kan ada dua langkah. Pertama, dengan perppu. Kedua, ajukan judicial review ke MK. Serahkan keputusan kepada MK,” tukas Asep Warlan. (elz/ant)