harianpijar.com, YOGYAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai masih memiliki peluang untuk menggagalkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk disahkan menjadi UU KPK.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenal Arifin Mochtar, meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Surat Presiden (Surpres) terkait usulan revisi UU KPK. Namun, masih memiliki peluang untuk menggagalkan RUU itu bisa lolos menjadi UU.
“Undang-Undang itu kan dibahas ada lima tahapan, yakni pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, pengundangan. Nah masih ada dua wilayah, presiden masih bisa menolak kalau dia mau,” kata Zaenal Arifin Mochtar saat menjadi pembicara dalam diskusi di Kantor Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Jumat, 13 September 2019.
Dikatakan Zaenal Arifin Mochtar, dari lima tahapan itu, presiden masih memiliki kewenangan untuk menentukan pasal mana yang bisa dibahas atau sama sekali menolak pembahasan bersama dengan DPR RI. Bahkan, untuk menentukan pasal-pasal tertentu yang bisa dibahas, presiden dapat meminta Menpan RB dan Menkum HAM untuk mengawalnya.
“Problemnya seberapa kuat ini dipesankan pada Pak Yasonna (Menkum HAM) dan Menpan RB untuk ngawal atau untuk mengatakan: ‘eh Pak Yasonna dan Pak Menpan RB kalau mereka (DPR) memaksakan (pasal) ini kita cabut tidak jadi pembahasan,” ucapnya.
Selanjutnya, Zaenal Arifin Mochtar menyebut meski telah dibahas, Jokowi juga masih memiliki peluang untuk menolak menyetujui bersama RUU KPK.
“Dia bisa menolak mengatakan saya tidak menyetujui,” ujar Zaenal Arifin Mochtar.
Karena itu, Zaenal Arifin Mochtar berharap Jokowi berani menolak membahas bersama dan menyetujui bersama, sebelum memasuki proses pengesahan RUU menjadi UU.
Jika Jokowi menolak saat pengesahan atau tidak menandatangani, maka dalam waktu 30 hari RUU itu dengan sendirinya akan menjadi UU dan wajib diundangkan. Hal tersebut mengacu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Saya tidak berhenti berharap Presiden berani untuk menolak membahas bersama dan menolak menyetujui bersama,” pungkas Zaenal Arifin Mochtar. (elz/ant)