harianpijar.com, JAKARTA – Pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengatakan capres petahana Joko Widodo (Jokowi) mempraktikkan rezim Neo-Orde Baru dalam gugatannya di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menanggapi hal itu, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin menilai kuasa hukum Prabowo-Sandi bukan menulis gugatan, melainkan menulis narasi politik.
“Apa yang termuat tersebut di atas dalam gugatan paslon #02 ke MK di atas hanyalah salah satu contoh saja bahwa kuasa hukum pemohon itu bukan sedang berdalil tentang sengketa pemilu, melainkan sedang menulis narasi politik dalam surat gugatan,” ujar Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf Amin, Arsul Sani kepada awak media, Sabtu, 1 Juni 2019.
Menurut Arsul Sani, argumen dalam gugatan Prabowo-Sandi dangkal. Pasalnya, gugatan yang dilayangkan paslon 02 itu sudah menjurus ke fitnah terhadap pemerintah.
“Isinya bukan saja dangkal dari sisi kebenaran tetapi sudah menjurus kepada fitnah terhadap pemerintahan. Gaya seperti itu merupakan gaya khas BW. Pada saatnya pasti akan kami respons, baik dalam persidangan di MK maupun di luar persidangan,” kata Arsul Sani.
Sebelumnya, Prabowo-Sandi menyebut Jokowi mempraktikkan rezim Neo-Orde Baru dalam berkas gugatan hasil Pilpres 2019 ke MK. Prabowo-Sandi menilai rezim pemerintahan Jokowi adalah Neo-Orde Baru dan rezim yang korup dengan mengutip pendapat akademisi luar negeri.
“Berkaitan dengan pemerintahan yang otoriter dan Orde Baru itu, melihat cara memerintah Presiden Joko Widodo, maka sudah muncul pandangan bahwa pemerintahannya adalah Neo-Orde Baru, dengan korupsi yang masih masif dan pemerintahan yang represif kepada masyarakat sipil sebagai ciri kepadanya,” demikian gugatan Prabowo-Sandi yang kuasanya diberikan kepada Bambang Widjojanto dkk, Jumat, 31 Mei 2019, seperti dilansir dari detik.
Adapun pendapat akademisi yang dikutip adalah milik guru besar hukum dan Indonesianis dari Melbourne University Law School, Prof Tim Lindsey. Kutipan yang diambil tim Prabowo-Sandi adalah sebagai berikut:
He cannot affoord to have too many of these his enemies, and that means three is not much Jokowi can do about Indonesia’s a poorly-regulated political system, which favours the wealthy and drives candidates to illegally recoup the high costs of getting elected once they are in office.
This system has entrenched corruption among the political elite and is a key reason for their predatory approach to public procurement.
. (nuch/det)