JAKARTA, harianpijar.com – Pimpinan DPR RI akan menggelar rapat pimpinan (rapim) membahas penetapan tersangka Ketua DPR Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Wakil Ketua DPR Fadli Zon, mereka bakal membahas mekanisme Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dalam penetapan pelaksana tugas (Plt) ketua DPR.
“Kalau yang menyangkut pimpinan tentu tergantung partai atau fraksi. Dalam posisi pimpinan saya pikir tidak ada masalah selama belum ada ketetapan hukum, kecuali dari partainya mengajukan pergantian,” kata Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Lebih lanjut, ditegaskan Fadli Zon, penunjukkan Plt Ketua DPR tetap menunggu proses hukum. Karena, menurutnya Setya Novanto masih sebagai tersangka bukan terdakwa atau terpidana.
“Ada mekanisme yang mengatur. Namanya tersangka bukan terdakwa, berarti masih ada upaya-upaya hukum,” tegas Fadli Zon.
Selanjutnya, Fadli Zon mengungkapkan, Partai Golkar memiliki kewenangan penuh menunjuk pengganti Setya Novanto. Karena jabatan ketua DPR merupakan hak partai.
“Kalau benar Setya Novanto tersangka dan mau berkonsterasi (hadapi masalah hukumnya), misalnya, tentu ada mekanismenya. Kita lihat, kita rapat dulu,” ucap Fadli Zon.
Seperti diberitakan, KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan blangko kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) setelah KPK mencermati fakta persidangan.
“KPK menetapkan SN dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan sehingga diduga mengakibatkan negara dirugikan Rp 2,3 triliun,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Selain itu, Setya Novanto diduga menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya terhadap jabatannya. Sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun.
Selanjutnya, juga dikatakan Agus Rahardjo, KPK menemukan bukti yang cukup untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Bahkan, Setya Novanto diduga memiliki peran dalam proses perencanaan dan pengadaan.
Akibatnya, Setya Novanto dijerat Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.