DPR Berupaya “Intervensi” KPK Atas Gelar Kasus Korupsi e-KTP

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah pada saat persidangan hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dilaporkan : M Drajat Wartawan-Kabiro Tabloid Visual Banten

Terungkapnya Kasus e-KTP, dinilai kasus korupsi berjamaah yang menelan uang rakyat triliunan rupiah. Sangat aneh, dari sejak terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan tidak habis pikir bahkan masih saja bergulir tindak pidana korupsi. Artinya, eksekutif maupun legislatif masih saja memiliki “nafsu” untuk memiliki uang haram sekalipun uang tersebut uang rakyat.

Dari pengakuan Andi Agustinus (selaku tersangka), bahkan dianya telah membagi-bagikan uang rakyat sebesar Rp 520 miliar kepada para pejabat dan politisi (di area Senayan,red) dan di sebut-sebut setiap oknum memperoleh Rp 20 miliar. Luar biasa, begitu mudahnya menerima uang tersebut tanpa mau memilah bahwa uang itu tidak bermoral, sehingga proses kebutuhan e-KTP bagi kebutuhan setiap warganegara menjadi terhambat yang luar biasa.

Bahkan pihak KPK telah menyebut-nyebut selaku penerima “suap” yang masing-masing Rp 20 milar, diantaranya disebut bekas Ketua DPR Marzuki Ali; bekas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi; bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum; Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Bahkan Marzuki Ali yang pada awalnya bermaksud melaporkan KPK, namun berubah melaporkan Andi Agustinus alias Andi Narogong ke Bareskrim Polri.

Baca juga:   Protes Pembangunan PLTU Batubara, Warga Bengkulu Datangi KPK

Disamping itu, Komisi III DPR dinilai telah kebakaran jenggot atas rentetan tindak pidana e-KTP atas penolakan KPK yang tidak memenuhi permintaan Komisi III DPR untuk membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani pada kasus dugaan korupsi e-KTP dalam rapat dengar pendapat, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu.

Untuk itu, bagi penghuni DPR pun semakin memanas dan resah, yang disebut-sebut adanya penekanan dari pihak Komisi III DPR, antara lain Aziz Syamsudin, Masinton Pasaribu, Bambang Soesatyo, dan Desmond J Mahesa. Sehingga melahirkan usulan “Hak Angket” yang disetujui oleh 6 Fraksi dari 10 Fraksi, yaitu Golkar, Gerindra, PDI-P, Nasdem, PPP, PD (Partai Demokrat). Bahkan 3 Fraksi (PAN, PKS, dan Hanura) turut mendukung namun harus lebih dahulu berkonsulatasi dengan pimpinan fraksinya masing-masing. Sementara Faksi PKB di sebut-sebut absentein.

Hal yang demikian sangat disesalkan sekali, bahwa pihak DPR (yang merupakan perwakilan rakyat), disadari atau tidak disadari dengan melakukan “Hak Angket” terhadap penegakkan hukum, dinilai sebuah intervensi atas proses tindak pidana hukum. Memperkuat Hak Angket oleh anggota DPR terhadap KPK, adalah unsur-unsur yang tidak mengindahkan penegakkan hukum dengan pemaksaan untuk memperoleh rekaman pemeriksaan oleh penyidik KPK itu sendiri dan dikhawatirkan para oknum DPR akan terseret atas tindak pidana rentetan kasus korupsi e-KTP.

Baca juga:   KPK: Penyidik Belum Terima Surat Sakit Setya Novanto

Bagi Anggota DPR telah menunjukkan sikap “otoriternya” yang telah bertentangan dengan perundang-undangan, sementara Presiden sendiri tidak bisa masuk keranah hukum yang lagi berjalan di peradilan. Maka anggota DPR tersebut harus bisa atau membiasakan diri untuk dapat menahan diri dengan semangat kerendahan hati, bukan semata-mata harus memakai jurus ampuhnya melalui “Hak Angket” yang nantinya akan merusak tatanan hukum di negeri ini.

Indonesia, dikenal dunia adalah sebuah negara hukum, adalah sebagai panglima. Diimbau para pemilik “Yang Dimulia” agar berfikir cerdas dan rendah hati, bukan dengan hati yang gegabah dan harus yakin bahwa anggota Komisi III DPR itu tidak bersalah. Dimana kebenaran atau kesalahan itu bisa dibuktikan secara benar dan adil, adalah di pengadilan. Untuk itu, nantinya keputusan pengadilan yang menetapkan dan harus dihormati oleh semua elemen. Jangan takut dulu, kalau oknum DPR tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.

VIATabloid Visual/M Drajat

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar Anda!
Masukkan nama Anda disini